Cari Blog Ini

Senin, 05 Oktober 2020

geomembane HDPE bagi petambak udang vanamei

 PADAT TEBAR BUDIDAYA UDANG VANAMEI 

Sebuah kajian / penelitian dalam bentuk uji coba budidaya udang vanamei telah dilakukan pada bppbap kabupaten Maros. sebagaimana dilansir pada situs bppbapmaros.kkp.go.id 


Udang vaname dapat dibudidayakan pada tingkat kepadatan yang tinggi dengan sistem pola usaha pekarangan skala kecil. Namun tingkat produktivitasnya ditentukan oleh padat penebaran yang diaplikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan, sintasan, produksi, dan rasio konversi pakan (RKP) budidaya udang vaname superintensif skala kecil. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya air Payau (BPPBP), Desa Punaga, Kecamatan Mangara’Bombang, Kabupaten Takalar, menggunakan lima buah bak (empat bak fiber glass dan satu bak terpaulin) berukuran diameter 5,0 m tinggi 1,5 m diisi air laut volume 20 m3.


Padat penebaran yang dipalikasikan adalah: 

A=600 ekor/m3

B=1.000 ekor/m3

C=1.240 ekor/m3

D=1.860 ekor/m3 dan 

E=2.450 ekor/m3 tanpa ulangan. 

Hewan uji yang digunakan adalah benur vaname PL-11 dipelihara selama 80 hari. Selama pemeliharaan udang diberi pakan buatan berupa pellet berkadar protein 38%-36% dengan dosis 10%-3% dan menurun seiring dengan bertambahnya bobot biomassa udang. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa padat penebaran 1.860 ekor/m2 memiliki kinerja terbaik dengan tingkat produksi 203 kg atau produktivitas 10,15 kg/m3, FCR (Feed Conversion Ratio) 1,83 angka rasio jumlah total pakan yang diberikan dengan dengan berat udang yang dipanen, selanjutnya kebutuhan air sebanyak 1.182 L/kg udang. Data ini memberikan indikasi bahwa udang vaname memiliki prospek untuk dibudidayakan dengan sistem pekarangan skala kecil, namun masih perlu dilakukan penghitungan kelayakan ekonominya. 

Udang vaname (Lithopenaeus vannnamei) biasa juga disebut Penaeus vanname. Pasific white shrimp, west coast white shrimp dan Camaron blanco longositono, sedangkan nama FAOnya adalah White leg shrimp, Camoron pattiblanco (Holothius et al., 1980). Keunggulan udang ini antara lain: Ukuran PL 6-7 sudah merupakan benur yang siap tebar, dapat ditebar dan tumbuh dengan kepadatan tinggi, toleran terhadap goncangan lingkungan, sintasan cukup tinggi 85-90% dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Poernomo, 2002; Anonim, 2003).

Budidaya udang di Indonesia menjadi prioritasutama dalam rangka memenuhi capaian produksi udang Nasional. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan sistem produksi udang yang memiliki tingkat produktivitas tinggi melalui pemanfaatan lahan tambak yang minimal. Target produksi udang masih dihadapkan pada berbagai tantangan, satu diantaranya adalah manajemen budidaya yang mampu menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi. Hingga saat ini, udang vaname masih  menjadi  tumpuan/komoditas  yang  strategis  bagi  upaya  pencapaian  target  produksi  udang nasional.

Budidaya udang vaname pola intensif atau superintensif pada skala kecil menjadi orientasi sistem budidaya di masa yang akan datang dengan ciri volume wadah yang kecil, dikembangkan dengan pertimbangan bahwa: 
  1. tidak memerlukan hamparan lahan yang luas sehingga mudah dikontrol, namun memiliki produktivitas yang tinggi, 
  2. dampak beban limbah dapat dikelola dengan menerapkan instalasi pengolaha air limbah, dan 
  3. dampak lingkungan dapat diminimalisir dan terlokalisir. Lingkungan dan hamparan budidaya yang terkontrol dengan manajemenlimbah yang baik diharapkan menjadi satu sistem budidaya udang vaname yang produktif, menguntungkan dan berkelanjutan. 
Kajian budidaya udang vaname superintensif telah dilakukan oleh Balai Penelitian Budidaya Air Payau  (BPPBAP).Padat  penebaran  600  ekor/m2   menghasilkan  produktivitas  udang  vaname  sebesar 8,407  kg/m2/mt,  sintasan  92,4%  dengan  rasio  konversi  pakan  1,39  (Rachmansyah  et  al.,  2013)  serta tingkat keuntungan Rp 514.110.934 (Suwardi et al., 2014). Selajutnya Rachmansyah et al. (2014) melakukan kajian padat penebaran 750,  1000 dan 1250 ekor/m2   dan terbukti udang  vaname  masih tumbuh normal sampai DOC 105 hari dengan capaian produksi masing-masing 7.862 kg;10.669 kg dan 12.163 kg per petak 1000 m2. Analis biaya produksi menunjukan bahwa perlakuan kepadatan 1000 ekor/m2   lebih baik dibanding dengan perlakuan lainnya, dimana   R/C  rasio menunjukkan nilai 1, 52.Semakin tinggi padat penebaran, beban limbah yang dihasilkan semakin besar pula. Padat tebar 1000 ekor/m2  menghasilkan beban limbah N, P, C paling rendah masing-masing 41,48 kgN/ton udang,  14,28  kgP/ton  udang  dan  112,21  kgton  udang.

Padat penebaran udang vaname akan menentukan sistem manajemen budidaya yang diaplikasikan. Oleh karena itu, kajian padat penebaran merupakan langkah awal yang penting dalam sistem budidaya. Tulisan ini diharapkan menjadi bahan informasi dalam upaya pengembangan usaha budidaya udang vaname superintensif skala kecil.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian telah dilakukan di Instalasi Tambak Percobaan (ITP) Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) di Desa Punaga, Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar pada bulan Juli hingga November 2015. Pada penelitian ini digunakan bak bulat diameter 5 m dan tinggi 1,5 m, terbuat dari bahan fiberglass, diisi air hingga volume mencapai 20 m3. Bak yang dipergunakan pada penelitian ini berjumlah lima unit, empat unit bak fiberglass dan satu unit bak terbuat dari terpaulin yang diberi tulangan dari wire mash galvanis dengan ukuran dan volume yang samadengan bak fiberglass Agar kualitas air dalam bak dalam kondisi prima, maka setiap bak dilengkapi dengan sistem  aerasi  sebanyak  30-40  batu  aerasi/bak  yang  disuplai  melalui  mesiroot  blower.  Posisi  bak diletakkan dikawasan supratidal dengan desain wadah pembuangan tengah (sentral drain) menggunakan pipa PVC ukuran 4 inchidiarahkan ke kolektor drain dan selanjutnya air limbah dibuang ke instalasi pengolahan air limbah. Sumber air baku diambil dari tandon air bersih dengan menggunakan pompa DAB 6 inchi yang disalurkan ke masing-masing bak melalui pipa distribusi 4 inchi.

Persiapan penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

¨      Pemagaran area menggunakan waring hitam, pemasangan saringan, inlet dan outlet, pemasangan meteran skala ketinggian air, pemasangan sistem aerasi pembersihan dan pengeringan bak.

¨      Desinfeksi bak  menggunakan kaporit  150 mg/L  kemudian dibilas  dengan air  tawar.

¨      Pengisian air ke dalam bak menggunakan air yang berasal dari tandon air bersih, disalurkan ke masing-masing bak secara bersamaan hingga mencapai kedalaman 100 cm,

¨      aplikasi kapur dolomite dengan dosis 20 mg/L,

¨      aplikasi klorin dosis 40 mg/L pemupukan urea dan SP-36 masing-masing dosis 20 mg/L dan 10 mg/ L untuk menumbuhkan pakan alami berupa plankton.

Penebaran benur dilakukan setelah seminggu aplikasi probiotikBenur udang vaname PL 11 diperoleh dari unit perbenihan udang dengan spesifikasi bebas penyakit WSSV, TSV dan IMNV. Adaptasi terhadap lingkungan bak (suhu dan salinitas) dilakukan sebelum benur ditebar di dalam bak. Padat penebaran yang dipalikasikan adalah: 

A= 600 ekor/m3, 

B=1000 ekor/m3, 

C=1240 ekor/m3, 

D= 1860 ekor/m3  dan 

E= 2450 ekor/m3     tanpa ulangan. 

Pemasangan anco 1 buah setiap bak ditujukan untuk memantau respon undang terhadap pakan yang diberikan. Pemberian pakan disesuaikan dengan perkembangan pertumbuhan dan kondisi udang dalam bak sesuai SOP feeding program. Selama pemeliharaan dilakukan pengelolaan air meliputi pembuangan lumpur dari sentral drain dan pengisian air bak. Probiotik komersial diaplikasikan dalam bak sesuai SOP dan teknik aplikasi probiotik.

Perubah yang diamati selama pemeliharaan meliputi pertumbuhan udang yang diukur setiap 5 hari dengan cara menimbang udang menggunakan timbangan elektronik yang mempunyai ketelitian 0,1 g.

Tabel  1. Aplikasi probiotik dan mineral selama pemeliharaan udang.


Sintasan  udang  pada  akhir  penelitian  dihitung  dengan  menggunakan  rumus  Nt/No  x  100%, produksi dihitung dengan cara sintasan x bobot akhir rata-rata, rasio konversi pakan (RKP) merupakan gambaran tingkat efektifitas pakan yang diberikan terhadap respon pertumbuhan udang yang diperoleh,  dihitung dari  total  pakan digunakan/total  produksi,  sedangkan  produktivitas  merupakan ukuran tingkat efisiensi produksi suatu usaha budidaya yang dilakukan dalam kg udang per satuan volume air.

Probiotik RICA meliputi tiga jenis bakteri dengan fungsi dan waktu aplikasi yang berbeda, yaitu:

¨      RICA 1 merupakan bakteri Brevibacillus laterosporus BT951 yang diaplikasikan pada bulan pertama dan ketiga. Bakteri ini berfungsi untuk menguraikan bahan organik dan H 2S serta menekan perkembangbiakan Vibrio spp.

¨      RICA 2 merupakan bakteri Serratia marcescens MY 1112 yang diaplikasikan setiap minggu pada bulan kedua. Bakteri ini berfungsi untuk memicu pertumbuhan udang.

¨      RICA 3 merupakan bakteri Pseudoalteromonas sp. E deep 1 yang diaplikasikan setiap minggu pada bulan ketiga. Bakteri ini berfungsi untuk pengurai bahan organik dan menghambat perkembangbiakan organisme patogen Vibrio harveyi dan WSSV.

Aplikasi probiotik RICA menggunakan dosis 5-10 ppm dengan terlebih dahulu dilakukan fermentasi sesuai dengan prosedur Atmomarsono et al. (2011) sebagai berikut: air tambak sebanyak 20 liter direbus hingga mendidih, dimasukkan tepung dedak sebanyak 1000 g diaduk hingga rata, kemudian dimasukkan tepung ikan sebanyak 400 g lalu ditambahkan molase 500 g (375 mL) diaduk hingga rata. Setelah itu didinginkan kemudian masukkan yeast (ragi) sebanyak 100 g lalu ditambahkan Probiotik RICA (starter) sebanyak 200 mL,diberikan aerasi kuat selama empat hari, dan bakteri probiotik siap digunakan.

Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut dan pH, dipantau setiap hari menggunakan DO meter model YSI58, sementara TSS, BOT, amoniak, nitrit, nitrat, fosfat, total bakteri dan vibrio diukur setiap minggu di laboratorium. Panen dilakukan secara parsial yaitu pada pemeliharaan hari ke 70 dan total pada hari ke-80. Panen cepat dilakukan akibat wabah WSSV dan IHHNV secara bersamaan sehingga mengakibatkan kematian masal udang yang sulit diatasi. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kinerja budidaya udang vaname pada berbagai padat penebaran sistem superintensif skala kecil. 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan rata-rata bobot akhir udang yang dipelihara selama 80 hari menunjukkan hasil yang bervariasi dari waktu kewaktu seiring dengan meningkatnya waktu pemeliharaan untuk semua perlakuan (Tabel 2, Gambar 1). Gambar 1 memperlihatkan bahwa pertumbuhan udang vaname dengan kepadatan yang berbeda masih tumbuh secara normal hingga mencapai umur 80 hari di bak fiberglass bervolume  20 m3.  Bobot akhir rata-rata  udang tertinggi  ditemukan pada perlakuan A,  yaitu 10,0  g/ ekor dan terendah pada perlakuan E yaitu 8,0 g/ekor.



Gambar Pertumbuhan Udang Vaname selama pemeliharaan 80 hari.

Bobot rata-rata udang yang diperoleh pada peneltian ini lebih rendah dari pada hasil penelitian yang dilaporkan oleh Suwardi et al. (2014) pada penelitian kinerja budidaya udang vaname (Lithopenaeus vannamei) pola superintensif. Pada penelitian Suwardi et al. (2014) diaplikasikan dua kepadatan, yaitu 500 ekor/m2 dan 600 ekor/m2, diperoleh bobot akhir rata-rata masing-masing yaitu 14,89 g/ekor dan 15,15 g/ekor.   Rendahnya pertumbuhan udang yang diperoleh pada penelitian ini diduga disebabkan oleh persaingan ruang gerak dalam media budidaya. Soeprapto (2005) menyatakan bahwa padat penebaran yang tinggi akan menyebabkan kadar oksigen terlarut menjadi rendah sehingga dapat mengakibatkan nafsu makan udang menjadi menurun.



Tabel 2. Produksi, sintasan, produktivitas, size dan rasio konvesi pakan udang vaname pada pemeliharaan superintensif skala kecil.




Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa semakin tinggi padat penebaran, maka sintasan udang yang diperoleh semakin rendah. (Tabel 2) hal ini dimungkinkan karena kadar oksigen terlarut menjadi rendah sehingga udang mudah stres dan memicu munculnya penyakit. Pada Tabel 2terlihatbahwa  sintasan  udang  terendah  diperoleh  pada  perlakuan  E  (2450  ekor/m3)  yaitu  37%  dan tertinggi  pada  perlakuan  A  (600  ekor/m3),  yaitu  87,9%.  Sintasan  pada  penelitian  ini  lebih  rendah dibandingkan yang diperoleh Suwardi et al. (2014) yang memperoleh nilai 85-92,4%. Produksi merupakan resultante antara sintasan udang dengan bobot akhir rata-rata (Stickney, 1979). Produksi udang tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu 203 kg sedangkan terendah pada perlakuan A yaitu hanya diperoleh 111 kg. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas udang meningkat sejalan dengan meningkatnya padat penebaran sampai pada level kepadatan optimum.


Produktivitas udang yang diperoleh pada penelitian ini tampaknya meningkat seiring meningkatnya padat penebaran yang diujikan. Produktivitas terendah pada penelitian ini dijumpai pada perlakuan A (600 ekor/m3) sebesar 5,55 kg/m3  dan tertinggi pada perlakuan D (1860 ekor/m3) sebesar 10,15 kg/ m3. Tingkat produktivitas pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Suwardi et al.  (2014)  yang  mendapatkan  nilai  3,64-4,80  kg/m3   pada  padat  penebaran  500  dan  600  ekor/m2.

Rasio konversi pakan udang yang diperoleh pada percobaan ini berturut-turut yaitu: 

perlakuan A=1,531, 

perlakuan B=1.30, 

perlakuan C=2,03, 

perlakuan D=1,83 dan 

perlakuan E=2.22. 

Nilai konversi pakan yang diperoleh pada percobaan ini tergolong tinggi meskipun pada kajian yang lain dengan teknologi super intensif diperoleh RKP yang lebih rendah yaitu: 1,18 (Atjo, 2013). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Mangampa dan Suwoyo (2010),yaitu pada budidaya udang vaname intensif dengan  kepadatan  50 ekor/m2,  menggunakan  benur tokolan  vaname  ukuran PL-27  (tokolan  15 hari dari PL-12), dipelihara selama 80 hari pemeliharaan, diperoleh RKP yang rendah yaitu 1,096+0,034. Rendahnya RKP yang dihasilkan Atjo (2013) diduga disebabkan oleh kualitas benur vaname (ukuran) dan teknik pengelolaan pakan, sedangkan rendahnya RKP yang dihasilkan oleh Mangampa & Suwoyo (2010) selain disebabkan oleh kepadatan yang rendah juga diduga disebabkan oleh ukuran benur yang ditebar yaitu dalam bentuk tokolan PL-27.


De Yta et al. (2004) pada penelitian budidaya udang vaname di tambak dengan padat tebar 35 ekor/m2   selama 112 hari dengan  produksi 3.525 kg/ha dan  sintasan sebesar 67%,  memperoleh nilai konversi pakan 1,97. Sedangkan Zelaya et al. (2007) mendapatkan nilai rasio konversi pakan 2,7, produksi 3.592 kg/ha, sintasan 63% dengan waktu pemeiharaan 112 hari. Gunarto (2010) melaporkan aplikasi teknologi bioflok pada budidaya udang vaname intensif kepadatan 148 ekor/m2 menghasilkan produksi  1.123,5  kg/0,3  ha  dengan  RKP  1,66-1,82.  RKP  ini  tidak  jauh  berbeda  jika  dibandingkan dengan RKP yang diperoleh pada kegiatan penelitian ini. Pada penelitian ini nilai RKP yang tinggi pada perlakuan C, D dan E diduga disebabkan karena pendugaan populasi udang hidup yang tidak akurat, terutama pada kepadatan tinggi.

Rendahnya rasio konversi pakan udang vaname tidak lepas dari peran bakteri probiotik yang ditambahkan ke tambak. Menurut Wang (2007) bakteri probiotik akan meningkatkan aktivitas enzim pencernaan secara signifikan dalam tubuh udang, dibanding dengan yang tanpa menggunakan probiotik dalam pemeliharaannya. Mathieu et al. (2008) mendapatkan adanya peningkatan aktivitas enzim amilase dan tripsin di dalam pencernaan udang yang mendapatkan perlakuan probiotik. Menurut Bairagi et al. (2004), penambahan bakteri probiotik B.subtilis dan B.circulansdalam pakan ikan Rohu, Labeorohita, dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan, rasio kon versi pakan, dan rasio efisiensi protein. Hal ini terkait dengan enzim selulolitik dan amilolitik yang diproduksi oleh kedua bakteri probiotik tersebut. Menurut Cruz et al. (2012) penggunaan probiotik dalam sistem akuakultur dapat meningkatkan kecernaan nutrisi, efisiensi pakan, peningkatan toleransi terhadap stres, dan mendorong reproduksi. Saat ini, ada produk probiotik komersial dibuat dari berbagai spesies bakteri seperti Bacillus sp., Lactobacillussp., Enterococcus sp., Carnobacterium sp., dan ragi Saccharomy cescerevisiae.

KUALITAS AIR

Kualitas air memiliki peran penting sebagai pendukung kehidupan dan pertumbuhan udang vaname yang dipelihara. Hasil pengamatan terhadap beberapa peubah kualitas air yang meliputi salinitas, pH, oksigen terlarut, nitrit, TAN dan suhu air disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kisaran beberapa peubah kualitas air pada budidaya udang vaname super intensif selama pemeliharaan.


Penambahan probiotik di tambak pemeliharaan udang mampu memperbaiki kualitas lingkungan tambak terutama kualitas air (Matiasi et al., 2002). Hasil pengamatan salinitas air tambak udang vaname selama pemeliharaan (Tabel 3) terlihat bahwa salinitas selama pemeliharaan cenderung meningkat sejalan dengan waktu pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena masa pemeliharaan dilakukan pada musim kemarau. Suhu yang tinggi akan menyebabkan salinitas air meningkat, karena terjadi pengentalan akibat penguapan. Tingginya salinitas air tambak diduga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan udang vaname selama pemeliharaan.Menurut Mc Grow & Scarpa (2002) bahwa udang vaname dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar, yaitu 0,5–45 ppt. Bray et al. (1994) melaporkan bahwa pertumbuhan udang vaname pada salinitas 5-15 ppt lebih tinggi secara signifikan dibanding pada salinitas 49 ppt. Haliman & Adijaya (2005) mengemukakan bahwa udang vaname muda yang berumur 1-2 bulan memerlukan kadar garam 15–25 ppt agar pertumbuhannya dapat optimal, setelah umurnya lebih dari dua bulan pertumbuhannya relatif lebih baik pada kisaran salinitas 5–30 ppt. Salinitas yang tinggi (di atas 40 ppt) sering terjadi pada musim kemarau menyebabkan pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu.

Kisaran nilai pH air pada semuaperlakuan relatif sama. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa pH air media budidaya udang tersebut cukup optimal. Menurut Suprapto (2005) bahwa kondisi pH air yang optimal untuk budidaya vaname berkisar 7,3–8,5 dengan torelansi 6,5–9. Wyban & Sweeny (1991) mengemukakan bahwa kisaran pH air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intesif sebesar 7,4–8,9 dengan nilai optimum 8,0.

Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut dalam media budidaya udang vaname selama pemeliharaan diperoleh nilai cukup baik. Kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan/udang. Clifford (1998) melaporkan  bahwa level DO minimum untuk kesehatan udang 3,0 mg/L dan DO yang potensial menyebabkan kematian adalah < 2,0 mg/L. Menurut Suprapto (2005) bahwa nilai DO optimal untuk budidaya vannamei > 3 mg/L dengan tolerasi 2 mg/

L. Adiwijaya et al. (2003) mengemukakan bahwa kisaran optimal oksigen terlarut selama masa pemeliharaan berkisar 3,5–7,5 mg/L. Athanasiadis & Chaves (2002 dalam Sugama, 2002) menambahkan bahwa  kadar  oksigen  selama  pemeliharaan udang  vannamei harus >  3,5  mg/L.

Hasil pengukuran suhu pada kedua perlakuan relatif samapada semua perlakuan ( Tabel 3). Kisaran tersebut masih berada dalam batas yang optimal bagi kehidupan udang vaname. Temperatur optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 27–320C (Suprapto, 2005). Haliman & Adijaya (2005) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan udang vaname antara 26-320C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan oksigen terlarut meningkat.


Amonia merupakan salah satu hasil sampingan dari proses perombakan bahan organik di dalam air yang bersifat racun. Toksisitas amonia meningkat dengan menurunnya kadar oksigen terlarut. Konsentrasi amoniak dalam penelitian ini cenderung meningkat seiring meningkatnya padat penebaran.Tingginya kosentrasi amoniak yang diperoleh pada penelitian ini disebabkan karena terjadinya penumpukan sisa pakan dan feses udang. Toksisitas peubah kualitas air tidak bekerja secara sendiri-sendiri artinya bahwa sekalipun kadar amoniak melebihi ambang batas kehidupan akan tetapi peubah lainnya masih pada tingkat optimal maka tidak akan mematikan udang. Konsentrasi NH3   yang  relatif  aman  untuk  udang  Penaeus  sp.,  adalah  di  bawah  0,1  mg/L  (Liu,  1989).  Lin  &  Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amoniak untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48,  72  dan  96  jam,  salinitas  35  ppt  yakni  2,78;  2,18;  1,82  dan  1,60  mg/L.  Selanjutnya  Tsai  (1989 dalam  Hadie  et al.,  1995) menambahkan  bahwa  batas aman  ammonia  pada  udang  adalah  0,1  mg/L. Kadar  ammonia  mulai  berpengaruh  terhadap  pertumbuhan  50%  adalah  pada  kadar  0,45  mg/L, sedangkan  pada  kadar  1,29  mg/L  menyebabkan  kematian.  Kosentrasi  nitrit  yang  diperoleh  selama pemeliharaan  berkisar  0,001-0,023  mg/L  ini  berarti  kadar  nitrit  yang  ada  dalam  tambak  masih tergolong rendah. Adiwijaya et al. (2003) berpendapat bahwa kisaran optimal nitrit untuk budidaya vaname  yakni  0,01   0,05  mg/L.

KESIMPULAN

Udang vaname dapat dibudidayakan dengan padat penebaran yang tinggi pada wadah budidaya skala kecil. Produktivitas udang meningkat sejalan dengan meningkatnya padat penebaran sampai pada level kepadatan optimum. Pada penelitian ini, tingkat produktivitas yang tinggi diperoleh pada padat  penebaran  optimum  1860  ekor/ m3 yaitu  10,15  kg/m3













Adiwijaya, D., Sapto, P.R., Sutikno, E., Sugeng, & Subianto. (2003). Budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 29 hlm.

Anonim. (2003). Litopenaeus vannamei sebagai alternatif budidaya udang saat ini. PT. Central Protein Prima (Charoen Pokphand Group) Surabaya 18 hlm.

Atmomarsono, M., Muliani, Nurbaya, Susianingsih, E., Nurhidayah, & Rachmansyah. (2011). Petunjuk Teknis Aplikasi Bakteri Probiotik RICA pada Budidaya Udang Windu di Tambak. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros, 20 hlm.

Bairagi, A., Sarkar Ghosh, K., Sen, S.K., & Ray, A.K. (2004). Evaluation of the nutritive value of Leucaena leucocephala leaf meal, inoculated with fish intestinal bacteria Bacillus subtilis and Bacillus circulans in formulated diets for rohu, Labeo rohita (Hamilton) fingerlings. Aquaculture Research 35, 436– 446.

Bray, W.A., Lawrence, A.L., & Leung -Trujillo, J.R. (1994). The effect of salinity on growth and survival of Penaeus vannamei, with observations on the interaction of IHHN virus and salinity. Aquaculture 122: 133-146.

Clifford, H.C. (1994). Semi-Intensive Sensation: A case study in Marine Shrimp Pond Management.

No.6 Juni 2004, 4 hlm.

Cruz, P.M., Ibanez, A.L., MonroyHermosillo, O.A., & Saad, H.C.R. (2012). Use of Probiotics in Aquaculture. Review Article. International Scholarly Research Network ISRN Microbiology.Volume 2012, 13 pages.doi:10.5402/2012/916845.


De Yta, A.G., Rouse D.B., & Davis, D.A. (2004). Influence of nursery on the growth and survival rate of Litopenaeus vannamei under pond production conditions. Journal of the World Aquaculture Soci- ety, 35(3):356-365.

Gunarto, Usman, Mansyur, A., & Rangka, N.A.. (2010). Petunjuk teknis Budidaya udang vaname intensif. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangann Perikanan Budidaya. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. 23 hlm.

Hadie, W., Rejeki, S., & Hadie, L.E. (1995). Pengaruh pemotongan tangkai mata (ablasi) terhadap pertumbuhan juvenil udang galah (Macrobarnchium rosembergii). Jurnal enelitian Perikanan Indonesia. Vol. 1(1):37-44.

Haliman, R.W., & Adijaya, S.D. (2005). Udang vaname, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hlm.

Hasanuddin Atjo. (2013). Bisnis udang “Inovasi Baru Pemacu Produksi” AGRINA.

Inspirasi Agribisnis Indonesia. Tabloid mingguan Vol. 9. No 212,25 September- 8 Oktober 2013. 28 hlm.

Holthuis, L.B., Rijksmuseum Van, H., & Leiten. (1980). FAO Species Cataloque Shrimp and Prawn of the word. Vol 1. An Annatated Cataloque of species of interest Fisheries. FAO of the Uneted Nations. Rome. 272 pp

Lin, Y.C., & Chen, J.C. (2001). Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus vannamei boone juveniles at different salinity levels. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. Elsevier Science Ltd. ISSN 0022-0981.259 (1) : 109 – 119 p.

Liu, C.I. (1989). Shrimp disease, prevention and treatment. Di dalam: Akiyama D.M, editor. Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management workshop. USA:Soybeans, America Soybean Association. 64-74 p.

Mangampa, M., & Suwoyo, H.S. (2010). Budidaya udang vaname (Litopenaeus vanamei). Teknologi semiintensif menggunakan benih tokolan. Jurnal Riset Akuakultur, Pusat Riset Perikanan Budidaya. 5(3): 351-361;

Matiasi, H.B., Yusoff, F.M., Shariff, M., & Azhari, O. (2002). Effect of commercial microbial products on water quality on tropical shrimp culture ponds. Asian Fisheries Sciences, 15:239-248.

Mc Graw, W.J., & Scarpa, J. (2002). Determining ion concentration for Litopenaeus vannamei culture in freshwater. Global Aquaculture. Advocate. 5 (3) : 36-37.

Poernomo, A. (2004). Teknologi Probiotik Untuk Mengatasi Permasalahan Tambak udang dan Lingkungan Budidaya. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Pengembangan Ilmu dan Inovasi Teknologi dalam Budidaya. Stickney, R. 1979. Principle of warm water aquaculture. New York, Chichester. Brisbane. Toronto.

Rachman Syah, Mansyur, A., Makmur, Tahe, S., Mat Fahrur, Undu, M.C., Soewoyo, H.S., Asaad, A.I.J., Tampangallo, B.R., & Septiningsih, E. (2015). Pemanfaatan Instalasi Pengolah Air Limbah Pada Budidaya udang Vaname Superintensif. Laporan Teknis. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros. 71 hlm.

Rachman Syah, Mansyur, A., Makmur, Tahe, S., Mat Fahrur, Undu, M.C., Soewoyo, H.S., Asaad, A.I.J., Tampangallo, B.R., & Septiningsih, E. (2013). Pengembangan budidaya udang vaname pola Intensif di tambak Skala kecil. Laporan Tahunan. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros. 85 hlm.

Rachman Syah, A. Mansyur, A., Makmur, Tahe, S., Mat Fahrur, Undu, M.C., Soewoyo, H.S.A., Asaad, I.J., Tampangallo, B.R., & Septiningsih, E. (2014). Pengembangan budidaya udang vaname superintensif di tambak kecil. Laporan Teknis. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros. 47 hlm.

Soeprapto. (2005). Petunjuk teknis Budidaya udang Vaname (Litopenaeus vannamei). CV. Biotirta. Bandar Lampung 25 hlm.

Stickney, R. (1979). Principle of Warmwater Aquaculture. A Willey-Interscience Pub. USA. 375 p.


Sugama, K. (2002). Status budidaya udang introduksi (Litopenaeus vannamei) dan Litopenaeus stylirostris serta prospek pengembangannya dalam tambak air tawar. Disampaikan dalan temu bisnis udang. Makassar 19 oktober 2002. 7 hlm.

Tahe, S., Mangampa, M., & Makmur. (2014). Kinerja Budidaya Udang Vaname (Lithopenaeus vannamei) Pola Super Intensif dan Analisi Biaya. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. 23-30 hlm.

Tahe, S., Suwoyo, H.S., & Mat. Fahrur. (2015). Aplikasi prodbiotik RICA dan Komersial pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei). Forum Inovasi teknologi Akuakultur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya . dalam Proses.

Wang, Y.B., Xu, Z.R., & Xia, M.S. (2005). The effectiveness of commercial probiotic in northern white shrimp Penaeus vannamei ponds, 71(5): 1,036-1,04.1.

Wyban, J.A., & Sweeny, J.N. (1991). Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute Makapuu Point. Honolulu, Hawai USA. 158 p.

Zelaya, O., Rouse, D.B., & Davis, D.A. (2007). Growout of Pasific White Shrimp, Litopenaeus vannamei, stocked into production ponds at three different ages. Journal of the World Aquaculture Society, 38(1): 92-101.