PADAT TEBAR BUDIDAYA UDANG VANAMEI
Sebuah kajian / penelitian dalam bentuk uji coba budidaya udang vanamei telah dilakukan pada bppbap kabupaten Maros. sebagaimana dilansir pada situs bppbapmaros.kkp.go.id
Udang vaname dapat dibudidayakan pada tingkat kepadatan yang tinggi dengan sistem pola usaha pekarangan skala kecil. Namun tingkat produktivitasnya ditentukan oleh padat penebaran yang diaplikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan, sintasan, produksi, dan rasio konversi pakan (RKP) budidaya udang vaname superintensif skala kecil. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya air Payau (BPPBP), Desa Punaga, Kecamatan Mangara’Bombang, Kabupaten Takalar, menggunakan lima buah bak (empat bak fiber glass dan satu bak terpaulin) berukuran diameter 5,0 m tinggi 1,5 m diisi air laut volume 20 m3.
Padat penebaran yang dipalikasikan adalah:
A=600 ekor/m3,
B=1.000 ekor/m3,
C=1.240 ekor/m3,
D=1.860 ekor/m3 dan
E=2.450 ekor/m3 tanpa ulangan.
Hewan uji yang digunakan adalah benur vaname PL-11 dipelihara selama 80 hari. Selama pemeliharaan udang diberi pakan buatan berupa pellet berkadar protein 38%-36% dengan dosis 10%-3% dan menurun seiring dengan bertambahnya bobot biomassa udang. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa padat penebaran 1.860 ekor/m2 memiliki kinerja terbaik dengan tingkat produksi 203 kg atau produktivitas 10,15 kg/m3, FCR (Feed Conversion Ratio) 1,83 angka rasio jumlah total pakan yang diberikan dengan dengan berat udang yang dipanen, selanjutnya kebutuhan air sebanyak 1.182 L/kg udang. Data ini memberikan indikasi bahwa udang vaname memiliki prospek untuk dibudidayakan dengan sistem pekarangan skala kecil, namun masih perlu dilakukan penghitungan kelayakan ekonominya.
- tidak memerlukan hamparan lahan yang luas sehingga mudah dikontrol, namun memiliki produktivitas yang tinggi,
- dampak beban limbah dapat dikelola dengan menerapkan instalasi pengolaha air limbah, dan
- dampak lingkungan dapat diminimalisir dan terlokalisir. Lingkungan dan hamparan budidaya yang terkontrol dengan manajemenlimbah yang baik diharapkan menjadi satu sistem budidaya udang vaname yang produktif, menguntungkan dan berkelanjutan.
Penelitian telah
dilakukan di Instalasi Tambak Percobaan (ITP) Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) di Desa Punaga,
Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar
pada bulan Juli hingga
November 2015. Pada
penelitian ini digunakan bak bulat diameter
5 m dan tinggi 1,5 m, terbuat
dari bahan fiberglass, diisi air hingga
volume mencapai 20 m3. Bak yang dipergunakan pada penelitian ini berjumlah lima unit, empat
unit bak fiberglass dan satu unit bak terbuat
dari terpaulin yang diberi tulangan
dari wire mash galvanis dengan
ukuran dan volume
yang samadengan bak
fiberglass Agar kualitas air dalam bak dalam kondisi prima, maka setiap bak
dilengkapi dengan sistem aerasi sebanyak 30-40 batu aerasi/bak yang disuplai melalui mesin root blower. Posisi bak diletakkan
dikawasan supratidal dengan desain wadah pembuangan tengah (sentral drain) menggunakan pipa PVC ukuran 4 inchidiarahkan ke kolektor drain
dan selanjutnya air limbah dibuang ke instalasi pengolahan
air limbah. Sumber air baku diambil dari
tandon air bersih dengan
menggunakan pompa DAB 6 inchi yang
disalurkan ke masing-masing bak melalui pipa distribusi 4 inchi.
Persiapan
penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
¨
Pemagaran area menggunakan waring hitam, pemasangan saringan, inlet dan outlet, pemasangan meteran skala ketinggian air, pemasangan sistem aerasi pembersihan dan pengeringan bak.
¨
Desinfeksi bak menggunakan kaporit 150 mg/L kemudian dibilas dengan air tawar.
¨
Pengisian air ke dalam bak menggunakan air yang berasal
dari tandon air bersih, disalurkan ke masing-masing bak secara bersamaan
hingga mencapai kedalaman
100 cm,
¨
aplikasi kapur dolomite dengan dosis 20 mg/L,
¨
aplikasi klorin dosis 40 mg/L pemupukan urea dan SP-36 masing-masing dosis 20 mg/L dan 10 mg/ L untuk menumbuhkan pakan alami berupa plankton.
Penebaran benur dilakukan setelah seminggu aplikasi probiotikBenur udang vaname PL 11 diperoleh dari unit perbenihan udang dengan spesifikasi bebas penyakit WSSV, TSV dan IMNV. Adaptasi terhadap lingkungan bak (suhu dan salinitas) dilakukan sebelum benur ditebar di dalam bak. Padat penebaran yang dipalikasikan adalah:
A= 600 ekor/m3,
B=1000 ekor/m3,
C=1240 ekor/m3,
D= 1860 ekor/m3 dan
E= 2450 ekor/m3 tanpa ulangan.
Pemasangan anco 1 buah setiap bak ditujukan untuk memantau respon undang terhadap pakan yang diberikan. Pemberian pakan disesuaikan dengan perkembangan pertumbuhan dan kondisi udang dalam bak sesuai SOP feeding program. Selama pemeliharaan dilakukan pengelolaan air meliputi pembuangan lumpur dari sentral drain dan pengisian air bak. Probiotik komersial diaplikasikan dalam bak sesuai SOP dan teknik aplikasi probiotik.
Perubah yang diamati selama pemeliharaan meliputi pertumbuhan udang yang diukur setiap 5 hari dengan cara menimbang udang menggunakan timbangan elektronik yang mempunyai ketelitian 0,1 g.
Tabel 1. Aplikasi probiotik dan mineral selama pemeliharaan udang.
Probiotik RICA
meliputi tiga jenis
bakteri dengan fungsi
dan waktu aplikasi
yang berbeda, yaitu:
¨
RICA 1 merupakan bakteri Brevibacillus laterosporus BT951 yang diaplikasikan pada bulan
pertama dan ketiga. Bakteri ini berfungsi untuk menguraikan bahan organik dan H 2S
serta menekan perkembangbiakan
Vibrio
spp.
¨
RICA 2 merupakan bakteri Serratia marcescens MY 1112 yang diaplikasikan setiap minggu pada bulan kedua. Bakteri ini berfungsi
untuk memicu pertumbuhan udang.
¨
RICA 3 merupakan
bakteri Pseudoalteromonas sp. E deep 1 yang diaplikasikan setiap minggu pada bulan ketiga. Bakteri ini berfungsi untuk pengurai bahan organik dan menghambat perkembangbiakan organisme patogen Vibrio
harveyi dan WSSV.
Pertumbuhan rata-rata bobot akhir udang yang dipelihara selama
80 hari menunjukkan hasil yang
bervariasi dari waktu kewaktu seiring dengan meningkatnya waktu pemeliharaan
untuk semua perlakuan (Tabel 2, Gambar 1). Gambar 1 memperlihatkan bahwa
pertumbuhan udang vaname
dengan kepadatan yang berbeda
masih tumbuh secara
normal hingga mencapai
umur 80 hari di bak fiberglass
bervolume 20 m3. Bobot akhir rata-rata udang tertinggi ditemukan pada perlakuan A, yaitu 10,0 g/ ekor dan terendah pada perlakuan E yaitu 8,0 g/ekor.
Bobot rata-rata udang
yang diperoleh pada peneltian ini lebih rendah
dari pada hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Suwardi
et al. (2014) pada penelitian kinerja
budidaya udang vaname
(Lithopenaeus vannamei) pola superintensif. Pada penelitian Suwardi
et al. (2014) diaplikasikan dua kepadatan, yaitu 500 ekor/m2 dan 600 ekor/m2, diperoleh bobot akhir rata-rata masing-masing yaitu 14,89 g/ekor dan 15,15 g/ekor. Rendahnya pertumbuhan udang yang diperoleh pada penelitian ini diduga disebabkan oleh persaingan ruang gerak dalam media budidaya. Soeprapto (2005) menyatakan bahwa padat penebaran yang tinggi akan menyebabkan kadar
oksigen terlarut menjadi
rendah sehingga dapat mengakibatkan nafsu makan udang
menjadi menurun.
Hasil penelitian ini secara
jelas menunjukkan bahwa
semakin tinggi padat
penebaran, maka sintasan udang yang diperoleh semakin
rendah. (Tabel
2) hal ini dimungkinkan karena
kadar oksigen terlarut menjadi rendah sehingga udang mudah stres dan memicu munculnya penyakit. Pada Tabel 2terlihatbahwa sintasan udang terendah diperoleh pada perlakuan E
(2450 ekor/m3) yaitu 37% dan tertinggi pada perlakuan A
(600 ekor/m3), yaitu 87,9%. Sintasan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan yang diperoleh Suwardi et al. (2014) yang memperoleh nilai
85-92,4%. Produksi merupakan resultante antara sintasan udang
dengan bobot akhir
rata-rata (Stickney, 1979).
Produksi udang tertinggi diperoleh
pada perlakuan D yaitu 203 kg sedangkan
terendah pada perlakuan A yaitu hanya diperoleh
111 kg. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas udang meningkat sejalan dengan meningkatnya padat penebaran
sampai pada level kepadatan optimum.
Rasio konversi pakan udang yang diperoleh pada percobaan ini berturut-turut yaitu:
perlakuan A=1,531,
perlakuan B=1.30,
perlakuan C=2,03,
perlakuan D=1,83 dan
perlakuan E=2.22.
Nilai konversi pakan yang diperoleh pada percobaan ini tergolong tinggi meskipun pada kajian yang lain dengan teknologi super intensif diperoleh RKP yang lebih rendah yaitu: 1,18 (Atjo, 2013). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Mangampa dan Suwoyo (2010),yaitu pada budidaya udang vaname intensif dengan kepadatan 50 ekor/m2, menggunakan benur tokolan vaname ukuran PL-27 (tokolan 15 hari dari PL-12), dipelihara selama 80 hari pemeliharaan, diperoleh RKP yang rendah yaitu 1,096+0,034. Rendahnya RKP yang dihasilkan Atjo (2013) diduga disebabkan oleh kualitas benur vaname (ukuran) dan teknik pengelolaan pakan, sedangkan rendahnya RKP yang dihasilkan oleh Mangampa & Suwoyo (2010) selain disebabkan oleh kepadatan yang rendah juga diduga disebabkan oleh ukuran benur yang ditebar yaitu dalam bentuk tokolan PL-27.
Kualitas air memiliki peran
penting sebagai pendukung kehidupan dan pertumbuhan udang vaname yang
dipelihara. Hasil pengamatan terhadap beberapa peubah kualitas air yang
meliputi salinitas, pH, oksigen terlarut, nitrit, TAN dan suhu air disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kisaran beberapa peubah
kualitas air pada budidaya udang
vaname super intensif selama pemeliharaan.
Penambahan probiotik di tambak pemeliharaan udang
mampu memperbaiki kualitas lingkungan tambak terutama
kualitas air (Matiasi
et al., 2002). Hasil pengamatan salinitas
air tambak udang vaname selama pemeliharaan (Tabel 3) terlihat bahwa salinitas selama pemeliharaan cenderung meningkat
sejalan dengan waktu pemeliharaan. Hal ini disebabkan
karena masa pemeliharaan dilakukan pada musim kemarau.
Suhu yang tinggi
akan menyebabkan salinitas air meningkat, karena terjadi pengentalan akibat
penguapan. Tingginya salinitas air tambak diduga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan udang
vaname selama pemeliharaan.Menurut Mc Grow
& Scarpa (2002)
bahwa udang vaname
dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar,
yaitu 0,5–45 ppt.
Bray et al. (1994) melaporkan bahwa
pertumbuhan udang vaname pada salinitas 5-15 ppt lebih tinggi secara signifikan
dibanding pada salinitas 49 ppt. Haliman & Adijaya (2005) mengemukakan bahwa udang vaname muda yang berumur 1-2 bulan memerlukan kadar garam 15–25 ppt agar pertumbuhannya dapat optimal,
setelah umurnya lebih dari dua bulan pertumbuhannya relatif lebih baik pada kisaran salinitas
5–30 ppt. Salinitas yang tinggi (di atas 40 ppt) sering terjadi pada musim
kemarau menyebabkan pertumbuhan udang menjadi lambat
karena proses osmoregulasi terganggu.
Kisaran nilai pH air pada semuaperlakuan relatif sama. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa pH air media budidaya udang
tersebut cukup optimal. Menurut Suprapto (2005) bahwa kondisi pH air yang
optimal untuk budidaya vaname berkisar 7,3–8,5 dengan torelansi 6,5–9. Wyban
& Sweeny (1991) mengemukakan bahwa kisaran pH air yang cocok untuk
budidaya udang vaname
secara intesif sebesar 7,4–8,9 dengan nilai optimum
8,0.
Hasil pengukuran kandungan
oksigen terlarut dalam media budidaya udang vaname selama pemeliharaan
diperoleh nilai cukup baik. Kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air merupakan
faktor kritis bagi kesehatan ikan/udang. Clifford (1998) melaporkan bahwa level DO minimum untuk kesehatan udang 3,0 mg/L dan DO yang potensial menyebabkan kematian adalah < 2,0 mg/L. Menurut Suprapto (2005) bahwa nilai DO optimal untuk budidaya vannamei >
3 mg/L dengan tolerasi 2 mg/
L.
Adiwijaya et al. (2003) mengemukakan
bahwa kisaran optimal oksigen terlarut selama masa pemeliharaan berkisar 3,5–7,5 mg/L. Athanasiadis &
Chaves (2002 dalam Sugama, 2002)
menambahkan bahwa kadar oksigen selama pemeliharaan udang vannamei harus > 3,5 mg/L.
Hasil pengukuran suhu pada kedua perlakuan relatif samapada semua
perlakuan ( Tabel 3). Kisaran
tersebut masih berada dalam batas yang optimal
bagi kehidupan udang vaname. Temperatur optimal untuk budidaya udang
vaname berkisar 27–320C (Suprapto, 2005). Haliman & Adijaya (2005) menambahkan
bahwa suhu optimal pertumbuhan
udang vaname antara 26-320C. Jika suhu
lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan
oksigen terlarut meningkat.
Amonia
merupakan salah satu hasil sampingan dari proses perombakan bahan organik di
dalam air yang bersifat racun. Toksisitas amonia meningkat dengan menurunnya
kadar oksigen terlarut. Konsentrasi amoniak dalam penelitian ini cenderung meningkat
seiring meningkatnya padat penebaran.Tingginya kosentrasi amoniak yang diperoleh
pada penelitian ini disebabkan karena terjadinya penumpukan sisa pakan dan feses udang. Toksisitas peubah
kualitas air tidak
bekerja secara sendiri-sendiri artinya
bahwa sekalipun kadar amoniak melebihi ambang batas kehidupan akan tetapi
peubah lainnya masih
pada tingkat optimal
maka tidak akan
mematikan udang. Konsentrasi NH3 yang relatif aman untuk udang Penaeus sp., adalah di bawah 0,1 mg/L (Liu, 1989). Lin &
Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amoniak untuk
juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam, salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L. Selanjutnya Tsai (1989 dalam Hadie et al.,
1995) menambahkan bahwa batas aman ammonia pada udang adalah 0,1 mg/L. Kadar ammonia mulai berpengaruh terhadap pertumbuhan 50% adalah pada kadar 0,45 mg/L, sedangkan pada kadar 1,29 mg/L menyebabkan kematian. Kosentrasi nitrit yang diperoleh selama pemeliharaan berkisar 0,001-0,023 mg/L ini berarti kadar nitrit yang ada dalam tambak masih tergolong
rendah. Adiwijaya et al. (2003)
berpendapat bahwa kisaran optimal nitrit untuk budidaya vaname yakni 0,01 –
0,05 mg/L.
KESIMPULAN
Udang vaname dapat dibudidayakan dengan padat penebaran yang tinggi pada wadah budidaya skala kecil. Produktivitas udang meningkat sejalan dengan meningkatnya padat penebaran sampai pada level kepadatan optimum. Pada penelitian ini, tingkat produktivitas yang tinggi diperoleh pada padat penebaran optimum 1860 ekor/ m3 yaitu 10,15 kg/m3
Adiwijaya, D., Sapto, P.R., Sutikno, E., Sugeng, & Subianto.
(2003). Budidaya udang vaname (Litopenaeus
vannamei) sistem tertutup yang ramah
lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan
Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 29 hlm.
Anonim. (2003). Litopenaeus
vannamei sebagai alternatif budidaya udang saat
ini. PT. Central Protein Prima (Charoen
Pokphand Group) Surabaya
18 hlm.
Atmomarsono, M., Muliani, Nurbaya,
Susianingsih, E., Nurhidayah, & Rachmansyah. (2011).
Petunjuk Teknis Aplikasi
Bakteri Probiotik RICA pada Budidaya
Udang Windu di Tambak.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan
Budidaya, Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Payau, Maros, 20 hlm.
Bairagi, A., Sarkar Ghosh,
K., Sen, S.K.,
& Ray, A.K. (2004).
Evaluation of the nutritive value
of Leucaena leucocephala leaf meal, inoculated with fish intestinal bacteria Bacillus subtilis and Bacillus circulans in formulated diets for rohu, Labeo rohita (Hamilton) fingerlings. Aquaculture Research
35, 436– 446.
Bray, W.A., Lawrence, A.L., &
Leung -Trujillo, J.R. (1994).
The effect of salinity on growth and survival
of Penaeus vannamei, with
observations on the interaction of IHHN virus
and salinity. Aquaculture
122: 133-146.
Clifford, H.C. (1994). Semi-Intensive Sensation: A case study in Marine
Shrimp Pond Management.
No.6 Juni 2004, 4
hlm.
Cruz, P.M., Ibanez, A.L., MonroyHermosillo, O.A., & Saad, H.C.R. (2012).
Use of Probiotics in Aquaculture. Review
Article. International Scholarly Research
Network ISRN Microbiology.Volume 2012, 13 pages.doi:10.5402/2012/916845.
De Yta, A.G., Rouse D.B., & Davis, D.A. (2004). Influence of nursery on the growth
and survival rate of
Litopenaeus vannamei under pond production conditions. Journal of the World Aquaculture Soci- ety, 35(3):356-365.
Gunarto, Usman, Mansyur, A.,
& Rangka, N.A.. (2010). Petunjuk teknis Budidaya udang vaname intensif.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Pusat Penelitian dan
Pengembangann Perikanan Budidaya. Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air Payau. 23 hlm.
Hadie, W., Rejeki, S., & Hadie, L.E. (1995).
Pengaruh pemotongan tangkai
mata (ablasi) terhadap pertumbuhan juvenil udang galah (Macrobarnchium rosembergii). Jurnal enelitian Perikanan Indonesia. Vol. 1(1):37-44.
Haliman, R.W., & Adijaya,
S.D. (2005). Udang vaname, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hlm.
Hasanuddin Atjo.
(2013). Bisnis udang “Inovasi Baru Pemacu Produksi” AGRINA.
Inspirasi Agribisnis Indonesia.
Tabloid mingguan Vol. 9. No 212,25 September- 8 Oktober 2013. 28 hlm.
Holthuis, L.B., Rijksmuseum Van, H., &
Leiten. (1980). FAO Species
Cataloque Shrimp and Prawn of the
word. Vol 1. An Annatated Cataloque of species of interest Fisheries. FAO of the Uneted
Nations. Rome. 272
pp
Lin, Y.C., & Chen, J.C. (2001). Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus
vannamei boone juveniles at different salinity levels. Journal
of Experimental Marine
Biology and Ecology. Elsevier
Science Ltd. ISSN 0022-0981.259 (1) : 109 – 119 p.
Liu, C.I. (1989). Shrimp
disease, prevention and
treatment. Di dalam:
Akiyama D.M, editor. Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management workshop. USA:Soybeans, America Soybean Association.
64-74 p.
Mangampa, M., & Suwoyo, H.S.
(2010). Budidaya udang vaname (Litopenaeus
vanamei). Teknologi semiintensif
menggunakan benih tokolan. Jurnal Riset Akuakultur, Pusat Riset Perikanan
Budidaya. 5(3): 351-361;
Matiasi, H.B., Yusoff,
F.M., Shariff, M., &
Azhari, O. (2002). Effect
of commercial microbial products on water quality on tropical shrimp culture ponds. Asian Fisheries
Sciences, 15:239-248.
Mc Graw, W.J., & Scarpa, J.
(2002). Determining ion concentration for Litopenaeus
vannamei culture in freshwater. Global Aquaculture.
Advocate. 5 (3) : 36-37.
Poernomo, A. (2004). Teknologi Probiotik Untuk Mengatasi
Permasalahan Tambak udang dan
Lingkungan Budidaya. Makalah
disampaikan pada Simposium
Nasional Pengembangan Ilmu dan
Inovasi Teknologi dalam Budidaya. Stickney, R. 1979. Principle of warm water
aquaculture. New York, Chichester. Brisbane.
Toronto.
Rachman Syah, Mansyur,
A., Makmur, Tahe, S., Mat Fahrur,
Undu, M.C., Soewoyo,
H.S., Asaad, A.I.J., Tampangallo, B.R., &
Septiningsih, E. (2015). Pemanfaatan Instalasi Pengolah Air Limbah Pada Budidaya udang Vaname Superintensif. Laporan Teknis. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros. 71 hlm.
Rachman Syah, Mansyur,
A., Makmur, Tahe, S., Mat Fahrur,
Undu, M.C., Soewoyo,
H.S., Asaad, A.I.J., Tampangallo, B.R.,
& Septiningsih, E. (2013). Pengembangan budidaya udang vaname
pola Intensif di tambak
Skala kecil. Laporan
Tahunan. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Air Payau Maros. 85 hlm.
Rachman Syah, A. Mansyur, A., Makmur,
Tahe, S., Mat Fahrur, Undu,
M.C., Soewoyo, H.S.A.,
Asaad, I.J., Tampangallo, B.R., & Septiningsih, E. (2014). Pengembangan budidaya udang vaname
superintensif di tambak kecil.
Laporan Teknis.
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Air Payau Maros.
47 hlm.
Soeprapto. (2005).
Petunjuk teknis Budidaya
udang Vaname (Litopenaeus
vannamei). CV. Biotirta. Bandar Lampung 25 hlm.
Stickney, R. (1979).
Principle of Warmwater Aquaculture. A Willey-Interscience Pub. USA. 375 p.
Sugama, K. (2002). Status
budidaya udang introduksi (Litopenaeus vannamei) dan Litopenaeus
stylirostris serta prospek
pengembangannya dalam tambak
air tawar. Disampaikan dalan temu bisnis udang. Makassar 19
oktober 2002. 7 hlm.
Tahe, S., Mangampa, M., & Makmur. (2014). Kinerja Budidaya Udang Vaname (Lithopenaeus vannamei) Pola Super Intensif dan Analisi Biaya.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. 23-30 hlm.
Tahe, S., Suwoyo, H.S.,
& Mat. Fahrur. (2015).
Aplikasi prodbiotik RICA dan Komersial pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei). Forum Inovasi teknologi Akuakultur. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya . dalam Proses.
Wang, Y.B., Xu, Z.R., &
Xia, M.S. (2005).
The effectiveness of commercial probiotic in northern white shrimp Penaeus
vannamei ponds, 71(5): 1,036-1,04.1.
Wyban, J.A., & Sweeny, J.N. (1991). Intensive Shrimp
Production Technology. The Oceanic
Institute Makapuu Point. Honolulu, Hawai USA. 158 p.
Zelaya, O., Rouse, D.B., & Davis, D.A. (2007). Growout of Pasific White Shrimp, Litopenaeus vannamei, stocked into production ponds at three different ages. Journal of the World Aquaculture Society, 38(1): 92-101.